Saya masih ingat hari itu, duduk di sebuah ruangan kecil dengan secangkir kopi yang mulai dingin, menatap mata seorang kandidat yang sedang berbicara tentang janji-janji reformasi hukum. Wawancara itu berlangsung hampir dua jam. Ada yang menghangatkan saya—ketulusan dalam nada suaranya—dan ada pula yang membuat saya waspada; jawaban yang terdengar seperti skrip kampanye yang sudah dihafal. Sejak saat itu saya sering berpikir: apa yang sebenarnya kita cari ketika menilai profil kandidat? Apa yang menjadi tolok ukur hak warga dalam kebijakan publik? Dan bagaimana reformasi hukum bisa benar-benar bekerja untuk rakyat?
Apa yang harus kita tanyakan kepada kandidat?
Sederhana: minta bukti, bukan janji. Itu pelajaran pertama yang saya pelajari di meja wawancara. Kandidat bisa berbicara lantang tentang transparansi, tapi ketika ditanya mengenai pengalaman konkret dalam memimpin perubahan, jawabannya sering kabur. Saya jadi lebih suka pertanyaan yang spesifik—”Pernahkah Anda menolak kebijakan yang populer tapi merugikan kelompok minoritas? Bagaimana konkret tindakan Anda?”—daripada retorika umum tentang ‘perubahan’ atau ‘keadilan’.
Pertanyaan seperti itu memaksa kandidat untuk menunjukkan track record. Track record yang nyata, bukan hanya proyek yang didanai seperti janji kampanye, tapi contoh nyata di mana mereka mengorbankan kepentingan politik demi hak-hak warga. Itu juga membantu warga memilih berdasarkan bukti, bukan hanya simpati atau janji manis.
Cerita singkat: bertemu warga yang merasa tidak didengar
Di sebuah desa kecil saya bertemu seorang ibu yang berjuang agar fasilitas layanan kesehatan tersedia bagi anaknya yang berkebutuhan khusus. Dia bercerita tentang lampu lalu lintas yang tidak menyala selama bertahun-tahun, tentang klinik yang hanya buka tiga hari dalam seminggu, dan tentang pejabat yang mengatakan “akan diperbaiki” lalu menghilang. Wajahnya lelah. Saya ingat momen itu ketika saya duduk kembali di meja wawancara. Hak warga bukan sekadar kata dalam pidato. Hak itu nyata: akses kesehatan, pendidikan, perlindungan hukum, dan ruang untuk didengar.
Reformasi hukum yang tidak menjangkau cerita seperti milik ibu itu hanyalah reformasi di atas kertas. Oleh karena itu, kandidat yang layak harus punya rencana implementasi yang jelas, dan komitmen untuk mendengar sebelum bertindak.
Pendapat: kebijakan publik harus mengutamakan keseimbangan
Saya percaya kebijakan publik terbaik lahir dari keseimbangan antara prinsip dan pragmatisme. Kita butuh aturan yang tegas untuk melindungi hak, tetapi juga fleksibilitas agar kebijakan bisa dijalankan di lapangan. Reformasi hukum yang ideal bukanlah satu set undang-undang yang megah dan sulit dipahami, melainkan perubahan yang mempermudah kehidupan sehari-hari warga: prosedur peradilan yang cepat, akses layanan hukum bagi keluarga miskin, perlindungan data pribadi, dan mekanisme pengawasan yang efektif.
Dan soal profil kandidat—pilih yang tidak hanya jago di meja seminar, tetapi juga pernah basah-basahan menyelesaikan masalah di komunitas. Karena di komunitas itulah ujian sebenarnya: apakah teori bisa diterapkan, apakah nilai menjadi tindakan.
Bagaimana kita, sebagai warga, bisa berperan?
Kita tidak harus ahli hukum untuk menuntut reformasi yang bermakna. Mulai dari hal kecil: hadir di forum publik, membaca materi kampanye dengan kritis, menanyakan rencana implementasi saat debat, dan menuntut akuntabilitas setelah pemilu. Jika kandidat menyediakan platform online atau kampanye yang jelas, klik dan pelajari—misalnya saya sempat mengikuti beberapa gagasan kampanye melalui situs resmi seperti ryanforattorneygeneral untuk melihat bagaimana mereka menyusun agenda hukum dan prioritasnya.
Akhirnya, memilih bukan tindakan akhir, melainkan permulaan. Setelah memilih, tetap awasi. Catat janji-janji, tuntut laporan berkala, dan dukung inisiatif masyarakat sipil yang bekerja di bidang hukum dan kebijakan publik. Reformasi sejati butuh keterlibatan berkelanjutan, bukan hanya euforia sehari setelah gelombang pemilu.
Saya meninggalkan meja wawancara dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Tapi itu baik. Pertanyaan menuntut kita berpikir, menuntut kita bertanya lebih keras, dan menuntut kandidat untuk menunjukkan bukti. Di tengah retorika politik, mari kita jaga hak warga tetap menjadi pusat diskusi. Karena di ujungnya, hukum yang adil dan kebijakan publik yang bijak harus bekerja untuk manusia: bukan sebaliknya.