Di Balik Janji Calon: Hak Warga, Reformasi Hukum, dan Kebijakan Publik

Baru saja pulang dari diskusi sore tentang reformasi hukum, masih bau kopi dari gelas yang saya pegang, dan kepala penuh pertanyaan. Ada sesuatu yang selalu mengikut setiap kali ada musim kampanye: janji-janji manis mengalir deras seperti es teh manis di warung pinggir jalan. Bedanya, kali ini topiknya bukan cuma jalan beraspal atau program bantuan — tapi hak warga, aturan main hukum, dan siapa yang akan pegang palu di meja pengambilan kebijakan. Saya ingin menulis ini seperti sedang curhat, bukan ceramah, karena saya juga bingung dan kadang geli sendiri menyaksikan drama politik yang tak ubahnya sinetron.

Mengapa hak warga sering jadi jualan kampanye?

Saat kandidat berdiri di depan podium, sering mereka bilang: “Kami akan memperkuat hak warga!” Suasana langsung hangat, tepuk tangan, foto-foto, dan setumpuk janji. Saya sempat tertawa di dalam hati karena seringnya klaim itu terdengar generik — siapa, kapan, bagaimana? Hak warga itu bukan barang pasaran. Membicarakan kebebasan berekspresi, akses keadilan, atau perlindungan data pribadi memerlukan detail teknis dan komitmen jangka panjang, bukan sekadar slogan 5 detik untuk iklan lewat radio.

Reformasi hukum: mimpi atau rencana yang bisa dijalankan?

Reformasi hukum seringkali diungkapkan pemilih seperti suatu mantra: “Butuh reformasi!” Tapi di balik kata-kata itu ada kebingungan tentang apa yang sebenarnya berubah. Hukum bukan cuma memperbaiki undang-undang; ia soal budaya peradilan, kualitas penegak hukum, transparansi, hingga akses pendanaan untuk bantuan hukum publik. Saya pernah melihat satu kandidat yang gayanya tegas, namun ketika ditanyai detail teknis, jawabannya kabur seperti asap rokok saat angin bertiup. Moment itu lucu sekaligus menegangkan — ada yang menahan napas, ada yang menaruh piring karena takut gemetar.

Profil kandidat: siapa yang bicara dan siapa yang benar-benar bekerja?

Kita sering memilih berdasarkan wajah, janji, atau sekadar aura “percaya”. Tapi saya suka menggali lebih jauh: siapa tim mereka, pengalaman merumuskan kebijakan, rekam jejak saat menangani isu publik kecil. Ada juga calon yang dulunya aktivis hak asasi, yang suaranya lembut tapi kerjaannya teknis dan konsisten — mereka jarang jadi headline, tapi sering jadi pilar perubahan. Di sisi lain, ada calon yang mahir orasi, energik, viral, namun ketika ditanya tentang mekanisme pelaksanaan, mereka mengalihkan ke isu lain dengan senyum manis. Biasanya saya garuk-garuk kepala sambil mikir, “Apakah ini pertunjukan atau tawaran perubahan nyata?”

Oh ya, di tengah kebingungan itu saya sempat menemukan satu situs yang menjabarkan profil kandidat dengan cukup rinci, ryanforattorneygeneral, yang membuat saya sedikit lega karena setidaknya ada sumber terstruktur. Tapi tetap saja, membaca itu seperti membaca CV — perlu diuji di lapangan nyata.

Bagaimana kebijakan publik bisa jadi alat untuk menang, bukan untuk warga?

Kamu pasti pernah merasakan: ada program pemerintah yang tampak manis awalnya — subsidi, pelatihan, bantuan modal — namun implementasinya terlihat seperti sandiwara. Kebijakan publik sering dimanfaatkan sebagai alat politisi untuk menunjukkan karya, bukan sebagai jawaban jangka panjang atas masalah warga. Saya ingat saat diskusi, ada ibu-ibu yang menghela napas dan berkata, “Mereka berjanji bantuan, tapi saat mau diurus, syaratnya seperti lomba teka-teki silang.” Reaksinya membuat saya tersenyum getir; kadang kita tertawa untuk menahan kecewa.

Saya percaya perubahan nyata butuh tiga hal: niat yang konsisten, desain kebijakan yang berbasis bukti, dan mekanisme monitoring yang transparan. Tanpa itu, reformasi hukum dan perlindungan hak warga hanya jadi kata-kata bagus di spanduk kampanye.

Jadi, bagaimana kita sebagai warga?

Kita bukan cuma penonton. Voting tentu penting, tapi lebih dari itu kita harus menuntut akuntabilitas: tanya detail program, minta timeline, pantau pelaksanaan, dan dukung calon yang punya rekam jejak konkret. Mengkritik bukan berarti menjelekkan, melainkan bagian dari dialog agar kebijakan publik benar-benar menjawab kebutuhan. Saya sendiri mulai rutin membaca Rencana Kerja, menanyakan pertanyaan yang kadang dianggap “ribet”, dan ya, ikut menertawakan janji-janji kosong bersama tetangga sambil sesekali menyumbang ide praktis.

Kalau boleh curhat lagi, saya capek melihat orang percaya begitu saja pada retorika. Tapi saya juga optimis: dari dialog kecil di warung kopi sampai forum warga di balai desa, ada potensi untuk menuntut perubahan hukum yang adil dan kebijakan publik yang nyata. Yuk, jangan cuma dengar janji — tantanglah, pelajari, dan ikut mengawal. Politik itu bukan sekadar panggung akting; itu urusan sehari-hari kita semua.

Leave a Reply